Pendanaan Buku 100 Tahun Gontor

JudulPenanaman Adab al-Ikhtilaf untuk Merekatkan Umat: Studi Nilai Pondok Modern Darussalam Gontor “Berdiri di Atas dan untuk Semua Golongan”
Nama HibahHibah Internal Penelitian
Nama ProgramProgram 100 Tahun Gontor
Nama SkemaPendanaan Buku 100 Tahun Gontor
AbstrakPenelitian ini berada dalam rumpun filsafat, dengan fokus utama pada filsafat akhlak di Pondok Modern Darussalam Gontor, khususnya dalam membentuk karakter tasamuh melalui penanaman adab al-ikhtilāf (ethic of disagreement). Tema besar yang diangkat adalah bagaimana pendidikan Islam tidak sekadar menjadi transmisi hukum-hukum Islam, tetapi juga menjadi wahana pembentukan kesadaran sosial, budaya tasamuh, dan kepribadian wasathiyah yang berakar pada tradisi keilmuan Islam. Topik yang dikaji mencakup bagaimana Pondok Modern Darussalam Gontor, sebagai lembaga pendidikan Islam, menginternalisasikan nilai-nilai adab perbedaan dalam sistem pendidikannya. Keunikan sistem Gontor tercermin dalam falsafahnya: “berdiri di atas dan untuk semua golongan,” yang menjadi dasar epistemologis dalam menghadapi keragaman organisasi di kalangan umat Islam. Di tengah masyarakat Indonesia yang plural secara mazhab dan praktik ibadah, perbedaan-perbedaan seperti dalam masalah qunut, tahlilan, perayaan maulid, atau praktik furu’ lainnya kerap memicu konflik horisontal. Dalam konteks ini, model pendidikan Gontor menjadi relevan untuk dikaji karena mampu menghadirkan pendekatan yang tidak fanatik mazhab namun tetap menghargai khazanah ijtihad para ulama. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendeskripsikan bagaimana sistem pendidikan akhlak dan adab di Gontor disusun dan dijalankan sehingga menghasilkan sikap tasamuh, terbuka, namun tetap ilmiah dan bersandar pada turats di kalangan santri. Yang mana semua itu tercermin dari falsafah Gontor: Berdiri di Atas dan Untuk Semua Golongan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif, dengan pendekatan studi kasus pada Pondok Modern Gontor. Teknik pengumpulan data meliputi observasi lapangan, wawancara mendalam dengan guru dan alumni, serta studi dokumentasi terhadap buku-buku panduan, kurikulum, dan tradisi lisan yang berkembang di lingkungan pesantren. Secara konseptual, penelitian ini menggunakan teori ta’dīb yang dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai landasan utama. Teori ini menekankan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar proses transmisi pengetahuan, melainkan proses internalisasi nilai yang tertanam secara berangsur-angsur dalam diri peserta didik, sehingga membentuk keutuhan insan yang adabi. Dalam perspektif al-Attas, ta’dīb adalah menggabungkan dimensi ‘ilm (pengetahuan), ‘amal (perilaku), dan khuluq (akhlak) secara integral. Secara khusus yang ditanamkan dalam konteks muamalah adalah adab al-ikhtilāf (ethic of disagreement) yang memberikan tekanan pada pentingnya etika dalam menyikapi perbedaan pendapat. Menurut al-‘Alwānī, perbedaan adalah keniscayaan yang diwarisi dari dinamika ijtihad para ulama, dan bukan alasan untuk saling menegasikan. Oleh karena itu, pendidikan Islam perlu membekali peserta didik dengan perangkat moral dan intelektual untuk memahami perbedaan sebagai rahmat, bukan sumber konflik. Pendidikan di Gontor bukan sekadar transformasi informasi, melainkan juga pembentukan worldview santri agar memahami khilāfiyyah sebagai bagian dari dinamika ijtihad. Ini terlihat dalam penggunaan Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, sebagai kitab wajib bagi bagi siswa kelas V dan VI. Kitab yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut tidak sekadar mencatat perbedaan pendapat hukum, tetapi juga menelusuri akar epistemologis dan dalil di baliknya. Sehingga santri memahami mengapa para ulama berbeda pendapat, bukan sekadar siapa yang berbeda pendapat. Nilai adab ikhtilaf ini sendiri sangat selaras dengan motto Gontor yang menjadi panduan hidup santri. Motto tersebut adalah: Pertama, Berbudi Tinggi. Adab al-ikhtilāf adalah inti dari budi pekerti tinggi dalam ranah keilmuan. Santri diajarkan bahwa kebenaran harus dibela, tapi lawan debat tetap dimuliakan. Sikap tasamuh lahir dari kesadaran bahwa berbeda bukan berarti bermusuhan. Kedua, Berpengetahuan Luas. Tidak ada adab dalam ikhtilaf jika pemahaman sempit. Maka, santri Gontor diperkaya dengan khazanah lintas mazhab, mengenal pendapat-pendapat ulama dari berbagai wilayah dan zaman. Luasnya pengetahuan ini mencegah lahirnya fanatisme picik dan membentuk pandangan yang bijak. Ketiga, Berpikiran Bebas. Kebebasan berpikir di Gontor bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi bebas yang terikat oleh adab. Santri tidak dilarang bertanya, bahkan didorong untuk berpikir kritis, selama tetap dalam batas adab kepada ilmu, guru, dan tradisi ulama. Di sinilah ta’dīb menjadi bingkai yang menjaga kebebasan agar tidak berubah menjadi kekacauan. Keempat, Berbadan Sehat. Jiwa yang sehat tumbuh dalam tubuh yang sehat. Gontor menanamkan bahwa kekuatan fisik adalah prasyarat kesanggupan menempuh jalan ilmu dan perjuangan. Dalam konteks adab ikhtilaf, kesehatan jasmani menopang kestabilan emosi agar perbedaan tidak ditanggapi dengan amarah, tetapi dengan lapang dada. Hal ini selaras dengan kaidah yang masyhur dalam khazanah Islam, yang dinisbatkan kepada Imam al-Syafi’i: رأيي صوابٌ يحتمل الخطأ، ورأي غيري خطأٌ يحتمل الصواب "Pendapatku benar namun mungkin salah, dan pendapat orang lain salah namun mungkin benar." Kaidah ini tidak sekadar menjadi slogan semata, melainkan representasi suatu komitmen epistemologis yang ditanamkan secara intens kepada para santri. Tujuannya adalah untuk membentuk sikap tawāḍu‘ dalam pencarian ilmu, menginternalisasi sikap tasamuh terhadap keragaman pandangan baik dalam fikih maupun akidah, serta mengembangkan kemampuan berdialektika secara adil dan proporsional dalam menghadapi perbedaan pendapat. Kontribusi akademik dari penelitian ini terletak pada tawaran model penanaman nilai dan adab berbeda pendapat yang integratif. Tidak hanya berorientasi pada penguasaan hukum Islam, tetapi juga pada transformasi sosial berbasis worldview Islam. Di tengah menguatnya polarisasi identitas dalam kehidupan umat, pendekatan Pondok Modern Darussalam Gontor memberikan pelajaran penting tentang bagaimana pesantren dapat menjadi benteng perekat umat (ukhuwah) dan pusat penyemaian adab al-ikhtilāf. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan pendidikan Islam, terutama dalam merespons tantangan disintegrasi sosial akibat perbedaan mazhab dan pilihan hukum. Falsafah Gontor dapat direplikasi atau dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya dalam membangun masyarakat madani yang ilmiah, terbuka, dan berbasis pada worldview Islam yang menyeluruh.
Pengusul Maria Ulfa, M.Fil.I.
Anggota 1 Maria Ulfa, M.Fil.I.
Anggota 2 Muhamad Wildan Arif Amrulloh, S.Pd., M.Ag.
Tahun Penelitian2025
Sumber DanaUNIDA GONTOR
Dana Non DiktiIDR 0,00