Pendanaan Buku 100 Tahun Gontor

JudulPanca Jiwa Sebagai Basis Pengelolaan dan Pengembangan Aset Wakaf: Sebuah Konsep dan Praktik Self-Fulfilling Prophecy di Pesantren Gontor
Nama HibahHibah Internal Penelitian
Nama ProgramProgram 100 Tahun Gontor
Nama SkemaPendanaan Buku 100 Tahun Gontor
AbstrakFokus Riset – Rahasia kesuksesan Gontor dalam mengelola aset wakaf bersumber dari nilai dan norma wakaf non-materiil yang ditanamkan oleh para Trimurti sejak awal. Nilai-nilai wakaf non-materiil tersebut adalah lima prinsip yang disebut “Panca Jiwa”. Panca Jiwa merupakan jiwa yang melekat dalam seluruh kegiatan di Gontor yang terdiri keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan. Panca Jiwa ini telah berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia, meningkatkan kualitas hidup, mengembangkan pendidikan dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya di lingkungan pondok pesantren. Keunikan studi ini terletak pada eksplorasi hubungan antara lima prinsip pesantren berbasis agama dan manajemen aset wakaf di Pesantren Gontor, terutama dari perspektif Socio-Economic Development (SED). Penelitian ini menyoroti pentingnya penerapan panca jiwa di semua bidang kehidupan di pesantren. Selain itu, temuannya adalah bahwa pondok pesantren akan tetap eksis, jika lembaga ini diwakafkan dan tidak dimiliki oleh individu atau organisasi tertentu. Pemisahan aset keluarga kiyai (pendiri pesantren) dan aset pesantren dapat memberikan dampak positif bagi keberlangsungan pondok pesantren dalam jangka panjang dan memberikan wawasan yang berharga bagi semua pendiri pondok pesantren di Indonesia. Secara keseluruhan, temuan penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kiyai dan peneliti yang tertarik dengan persinggungan antara panca jiwa dan socio-economic di pondok pesantren. Tema/ Topik – Pesantren tetap eksis hingga saat ini karena masyarakat menaruh kepercayaan yang tinggi padanya. Slogan pesantren adalah ‘dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.’ Kepercayaan ini berasal dari fakta bahwa pesantren masih memegang nilai-nilai penting seperti kejujuran, ketulusan, kemandirian, tanggung jawab, dan kesediaan untuk berkorban. Nilai-nilai ini terus dijunjung tinggi hingga saat ini (1). Akibatnya, nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren memainkan peran krusial dalam membentuk perilaku dan keragaman komunitas Muslim di Indonesia (2). Penelitian ini berangkat dari potensi dan keberadaan pesantren yang telah disebutkan di atas. Namun, dalam kenyataannya, banyak pesantren tidak dapat mandiri secara ekonomi dan justru mengalami kepunahan, mati suri setelah pendirinya wafat (3). Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki sumber ekonomi yang baik, melainkan hanya bergantung pada iuran bulanan dari para siswa (4). Meskipun beberapa pesantren telah mencoba mengembangkan usaha ekonomi (5), dalam pelaksanaannya, mereka juga menghadapi banyak hambatan seperti konflik kepentingan antarindividu (6), manajemen (7), kapasitas sumber daya manusia (8), dan modal (9), yang semuanya menjadi hambatan dalam pengelolaan dan pengembangan pesantren itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki fenomena yang menyebabkan pesantren tidak dapat mandiri. Penelitian ini juga mengangkat pertanyaan tentang peran nilai yang diyakini oleh pesantren, yang dalam penelitian ini disebut sebagai Lima Prinsip Pesantren. Dengan kata lain, Lima Prinsip Pesantren, yang dikenal sebagai modal sosial dan dipopulerkan oleh Robert D. Putnam (10), merujuk pada keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas pesantren dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf. Panca Jiwa yang berlandaskan agama telah terintegrasi dan tertanam dalam semua aspek kehidupan, menjadi pengaruh yang tidak sadar. Pengelolaan aset wakaf Gontor didorong oleh nilai-nilai ini, yang mempromosikan kapasitas jangka panjang, berfungsi sebagai ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Kesadaran, keyakinan, idealisme, dan nilai-nilai ini secara esensial dan konstitutif menjadi kenyataan. Robert Merton memperkenalkan istilah “Self-Fulfilling Prophecy” atau (SFP) (11). SFP pada awalnya adalah definisi palsu tentang situasi yang memicu perilaku baru, sehingga konsep palsu tersebut menjadi kenyataan. Validitas palsu dari ramalan yang terpenuhi sendiri mempertahankan kekuasaan kesalahan. Sebab, sang nabi akan mengutip jalannya peristiwa yang sebenarnya sebagai bukti bahwa ia benar sejak awal (11). Setuju dengan pernyataan Thomas bahwa “Jika manusia mendefinisikan situasi sebagai nyata, maka situasi tersebut menjadi nyata dalam konsekuensinya” (12). Hal ini juga berlaku ketika panca jiwa diinterpretasikan sebagai keyakinan, kepercayaan, dan harapan yang mampu mempengaruhi perilaku penghuni pesantren, sehingga risiko bisnis rendah dan pengelolaan wakaf dimaksimalkan. Lima nilai atau lima prinsip yang disebut Panca Jiwa, dirumuskan oleh Trimurti (tiga bersaudara pendiri Gontor) sebagai jiwa yang melekat pada semua kegiatan di Gontor; lima prinsip berlandaskan agama ini adalah kejujuran, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan Islam, dan kebebasan. Konsep ini telah membuat pesantren berhasil dalam mengelola aset wakaf (13). Sebagai contoh, berdasarkan nilai kemandirian, Gontor berhasil mengembangkan aset wakafnya menjadi sarana kemandirian pesantren yang tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga bernilai agama. Bahkan, Pesantren Gontor mendapat julukan ‘modern’ dari masyarakat karena pendekatan uniknya yang berbeda dari pesantren tradisional pada masa itu (14). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut sifat dan filosofi lima prinsip berbasis keyakinan pesantren sebagai Self Fulfilling Prophecy (SFP) dalam mengelola aset wakaf untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat, khususnya di Pesantren Modern Gontor. Selain itu, prinsip-prinsip SFP yang mendasari pengelolaan dan pengembangan aset wakaf untuk mencapai kemandirian akan dijelaskan secara rinci. Peneliti meyakini bahwa hal ini menjadi novum argumen terkait beberapa alasan kritis berikut; Pertama. Peneliti berargumen bahwa hambatan dalam pengembangan usaha ekonomi pesantren disebabkan oleh ketidakhadiran semangat perjuangan dan nilai-nilai yang menjadi dasar pengelolaannya. Studi ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rusyda, M. (2021) (15), Rofiqi (2020) (16), dan Fawaidi (2022) (17). Kedua; banyak pesantren ditutup dan konflik internal di antara mereka terjadi setelah pendiri meninggal karena tidak ada pemisahan kepemilikan harta antara pesantren dan keluarga (18)(19)(20). Ketiga, penelitian ini juga akan mengkaji tesis mengenai pesantren seharusnya bertujuan untuk menjadi mandiri sebagai lembaga yang diamanatkan kepada umat (21)(22). Pesantren Modern Gontor dipilih karena keunggulannya. Pesantren ini juga merupakan pesantren terbesar dan Gontor menjadi salah satu pelopor pesantren modern di Indonesia (13). Pesantren ini memiliki 20 cabang, yaitu 12 cabang Gontor untuk laki-laki dan 8 cabang Gontor untuk perempuan, tersebar di seluruh Indonesia, dengan total sekitar 30 ribu siswa, serta memiliki usaha ekonomi berbasis wakaf, sebanyak 32 jenis usaha yang aktif hingga saat ini, serta tanah wakaf dengan luas 12.620.269 hektar (23). Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan ilustrasi praktis bagi pengelola lembaga wakaf, menunjukkan bahwa pengalaman wakaf Gontor menjadi bukti efektivitas wakaf dalam mendukung kemandirian ekonomi lembaga pendidikan.
PengusulAssoc. Prof. Dr. Syamsuri, M.A.
Anggota 1Assoc. Prof. Dr. Syamsuri, M.A.
Anggota 2
Tahun Penelitian2025
Sumber DanaUNIDA GONTOR
Dana Non DiktiIDR 0,00